Fiction

Aku, Kamu, dan Perjalanan Kita #2

Setibanya di stasiun, Tim meminjam sepeda motor di salah satu tempat rental di dekat stasiun. Kemudian dia mengajakku berkeliling ke beberapa tempat yang (menurutnya) menyenangkan, sekaligus untuk hunting foto.

Hm, apa kalian mengira kegiatan melancong kami ini semacam go for a date? Tidak, jangan berpikir ke arah situ. Aku dan Tim hanya berteman, tidak ada status lainnya. Meski demikian, aku merasa bahwa apa yang Tim lakukan selama ini seolah-olah mengatakan bahwa dia ingin melanjutkan pertemanan ini ke arah yang lebih serius.

“Lihat, Tim!” aku berseru saat melihat poster di dekat sebuah mal. “Ada Festival Payung di Taman Balaikambang! Ayo ke sana!”

“Wah, boleh juga tuh,” kata Tim setuju. “Yuk, kita ke sana!”

Setibanya di sana, aku dan Tim hanya bisa terperangah melihat payung-payung yang terpasang di atas kami. Indah sekali, pikirku kagum. Kemudian aku menarik lengan baju Tim. Diapun menoleh.

“Tolong fotoin aku di sini, dong,” kataku.

Tim hanya tertawa kecil, lalu mengangguk. Maka aku segera berlari menuju ke tempat yang tidak begitu ramai untuk berfoto di sana. Tapi menyebalkannya, baru ada tiga kali jepretan, tiba-tiba ada orang yang menabrakku tanpa sengaja, sehingga aku terjatuh. Dan yang lebih parah, orang itu langsung berlalu begitu saja. Keterlaluan!

“Vallerie!” Tim berseru sambil menghampiriku. Aku menoleh ke arahnya, melihat wajahnya yang kelihatan cemas. Dia langsung mengulurkan tangan untuk menolongku berdiri. “Sakit, ya?”

“Iya. Tapi nggak sakit banget, kok” kataku, menyambut uluran tangannya. Saat itulah, aku merasa ada sesuatu yang berdesir di hatiku. Dan anehnya, tangan kami bisa menemukan lekukannya di tempat yang tepat.

Tim mendesah, “Keterlaluan. Udah ngejatuhin orang, eh malah ditinggal gitu aja”

“Biarin aja lah. Eh, ya. Aku kok, tiba-tiba jadi pengen makan es krim, ya.” Aku meringis ke arah Tim. Cowok itu—yang awalnya berwajah kesal—jadi tertawa. Dia mengacak-acak rambutku, membuat jantungku berdebar semakin tidak karuan.

“Baiklah. Yuk kita ke kedai es krim di sana,” ajaknya sambil menunjuk ke arah kedai es krim terdekat. Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya.

–*–

“Tim,” panggilku. Dia mengalihkan pandangannya dari es krimnya.

“Sebenarnya kenapa kamu bersikap seolah-olah bahwa kamu adalah… pasanganku?” tanyaku langsung.

Tim menghela nafas, kelihatan bingung mau menjawab apa. Waduh, kayaknya aku blak-blakan banget, deh! pikirku gelisah.

“Ehm, kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa, kok,” tambahku cepat.

Tiba-tiba Tim berkata, “Val, aku seneng karena akhirnya kamu tanya gitu. Karena, jujur aja, aku nggak tahu harus gimana buat bilang ke kamu tentang perasaanku padamu Jadi yang bisa kulakukan cuma memperhatikanmu dari jauh, bahkan saat kamu masih bersama Caleb. Setelah kamu putus darinya, baru aku bisa mulai berani mendekatimu. Maaf kalau aku lancang, ya.”

Aku terdiam. Jadi ternyata benar ya? Bahwa selama ini Tim menyukaiku…? Dan aku menyia-nyiakannya dengan menjalin hubungan bersama Caleb yang akhirnya melukaiku?

“Oh,” gumamku akhirnya. “Iya. Aku yang salah karena nggak peka sama kamu, Tim. Sorry.”

Tim tersenyum. “Tapi aku nggak bisa masuk ke hatimu gitu aja sebelum kamu bisa memaafkan Caleb seutuhnya, Val,” katanya, dan itu berhasil membuatku syok.

Seketika itu juga, aku menangis lagi. Bukan, bukan karena aku masih membenci Caleb. Tapi karena aku menyesal telah membencinya. Kalau sampai Tim akhirnya memilih untuk menghindariku, itu juga karena keegoisanku yang tidak mau memaafkan pemuda yang telah melukai hatiku itu.

Tim menarik kursinya ke sebelahku. Kemudian dia menggenggam tanganku dengan lembut. Ketika aku menoleh ke arahnya, tangan kanannya menghapus air mata yang masih tersisa di wajahku.

“Aku tidak bisa berjanji untuk sama sekali tidak membuatmu menangis. Tapi aku janji untuk tidak membiarkanmu menangis terlalu lama di depanku,” kata Tim dengan tatapan dalam-dalam padaku.

“Tim,” kataku, menghentikan gerakan tangannya di atas wajahku. “Aku… ingin membereskan kondisi hatiku dulu. Kalau kamu nggak keberatan, kamu mau menungguku, kan?”

Dia mengangguk. “Iya, santai aja. Namanya pemulihan kan, juga butuh proses,” kata-katanya membuatku tersenyum.

Tiba-tiba Tim mendekatkan kepalanya ke kepalaku, sehingga wajah kami jadi berdekatan–dan membuatku lebih sport jantung. Kemudian dia melanjutkan, “Tapi kalau kamu nggak keberatan juga, apa aku boleh untuk berjalan bersamamu, setidaknya sebagai sahabat untuk saat ini?”

“Boleh aja, sih,” jawabku sambil tersenyum. Dan bisa kulihat ekspresi Tim terlihat sangat bahagia.

“Tapi sebelumnya,” kataku cepat, “ada satu masalah yang harus aku bereskan dulu sebelum aku menjalin persahabatan lebih lanjut denganmu. Nggak apa-apa, kan?”

Tim tertawa. “Iya, tenang saja. Thank you, Val. Ini adalah perjalanan pertamaku bersama seorang cewek, dan kamu berhasil mewarnai perjalananku ini dengan indahnya,” ujarnya.

“Sama-sama. Aku juga berterimakasih, Tim. Kamu sudah berhasil bersabar padaku sampai saat ini,” balasku, ikut tertawa bersamanya.

Apakah perjalanan-menuju-kota-asal bersama Tim ini akan menjadi perjalanan-menuju-hubungan-yang-lebih-lanjut dengannya? Hm… entahlah. Semoga saja begitu, harapku.

–*–

Malam itu juga, aku mengirim sebuah pesan singkat kepada seseorang yang sudah lama tidak kuhubungi. Sebuah pesan yang—kuharap—bisa menyadarkannya bahwa aku tidak membencinya lagi.

“Hai, Caleb. Aku telah memaafkanmu. Maafkan aku yang juga sering membuatmu kesal, ya.. Selamat berjuang mengejar cita-citamu:)”

Satu menit kemudian, ada balasan darinya,

“Iya, maafkan aku juga, ya, Val. Jadi… kita tetap berteman, kan? :)”

Tentu saja 🙂 Selamat malam, Caleb.

Setelah setahun berlalu, akhirnya hari ini aku bisa tidur pulas dan tanpa mimpi buruk. Terimakasih, Tim, karena telah mengingatkanku agar aku mau memaafkan Caleb 🙂

1 thought on “Aku, Kamu, dan Perjalanan Kita #2”

Comments are closed.